Rabu, 08 Oktober 2014

HASTABRATA (watak Pemimpin)

Hastabrata Berasal dari kata Asto atau Hasto yang artinya delapan, kemudian Baroto yang artinya laku atau perbuatan. Jadi Hasta Brata berati delapan laku atau delapan perbuatan. Hastabrata terdapat dalam Sarga XXIV dari wejangan Ramawijaya kepada Gunawan Wibisono, juga Sri Kresna kepada Arjuna. Diterangkan bahwa seseorang yang ditakdirkan untuk menjadi pemimpin atau raja, dalam jiwanya hendaknya terdapat delapan macam sifat kedewasaan atau delapan macam watak-watak dewa. Kewajiban seorang pemimpin harus selalu mencerminkan sifat dan sikap seperti berikut.

  1. Dewa Surya atau Watak Matahari
Menghisap air dengan sifat panas secara perlahan serta memberi sarana hidup. Pemimpin harus selalu mencerminkan sifat dan sikap semangat kehidupan dan energi untuk mencapai suatu tujuan, dengan didasari pikiran yang matang dan teliti, serta pertimbangan baik-buruk juga kesabaran dan kehati-hatian.

  1. Dewa Chandra atau Watak Bulan
melambangkan pemberi sebuah kesenangan dan penerangan dengan sinarnya yang lembut. Seorang pemimpin bertindak halus dengan penuh kasih sayang dengan tidak meninggalkan kedewasaannya.

  1. Dewa Yama atau Watak Bintang
melambangkan indah dan terang sebagai perhiasan dan yang menjadi pedoman serta bertanggung jawab atas keamanan anak buah maupun wilayah kekuasaannya.

  1. Dewa Bayu atau Watak Angin
Melambangkan pengisi tiap ruang kosong. Pemimpin mengetahui dan menanggapi keadaan negeri dan seluruh rakyat secara teliti.

  1. Dewa Indra atau Watak Mendung
Melambangkan kewibawaan, memberikan manfaat dan menghidupkan. Pemimpin harus berwibawa murah hati dan dalam tindakannya bermanfaat bagi anak buahnya maupun wilayah kekuasaannya.

  1. Dewa Agni atau Watak Api
Mempunyai sifat tegak, dapat membakar dan membinasakan lawan. Pemimpin harus berani dan tegas serta adil, mempunyai prinsip sendiri, tegak dengan berpijak pada kebenaran dan kesucian hati.

  1. Dewa Baruna atau Watak Samudra
Sebagai simbol kekuatan yang mengikat. Pemimpin harus mampu menggunakan kekuatan dan kekuasaannya untuk menjaga keseluruhan dan keutuhan rakyat serta melindungi rakyat dari segala kekuatan lain yang mengganggu ketentraman dan keamanan secara luas dan merata.

  1. Dewa Kuwera atau atau Watak Bumi
Sebagai simbol kemakmuran dengan kesucian rohani dan jasmani. Pemimpin harus mampu mengendalikan dirinya, karena harus memperhatikan rakyat yang memerlukan bantuan dengan mencerminkan sentosa budi pekertinya dan kejujuran terhadap kenyataan yang ada.

Sejarah Wayang Purwa



Wayang kulit merupakan salah satu bentuk seni pertunjukan yang sangat popular dan di senangi oleh berbagai lapisan masyarakat Jawa, khususnya wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Menganai umur dan asal mula pertunjukan wayang kulit menurut data sejarah telah ada sejak abad ke-11 pada zaman Airlangga, seperti tercantum dalam Kakawin Arjuna Wiwaha, bait 59 sabagai berikut.
”Hanonton Ringgit manangis asekel muda hidepan huwus wruh wruh towin jan walulang inukir molah angucap hatur ning wang tresneng wisaya malaha tan wihikana Ri tatwan jan maya sahan-haning bhawa siluman” (Ada orang melihat wayang menangis, kagum serta sedih hatinya, walaupun sudah mengerti bahwa yang dilihat itu hanya kulit dipahat berbentuk orang dapat bergerak dan berbicara, yang melihat wayang itu umpamanya orang yang nafsu dalam keduniawian yang serba nikmat, mengakibatkan kegelapan hati. Ia tidak mengerti bahwa semua itu hanyalah bayangan seperti sulapan, sesungguhnya hanya semu saja).

Pertunjukan wayang kulit sudah ada sejak zaman Airlangga (abad XI), dengan wujud bonekanya terbuat dari kulit yang ditatah dan dimainkan dengan menggunakan layar (kelir). Pada pertengahan abad XII, pertunjukan wayang telah diiringi dengan musik tudungan, saron, dan kemanak. Isi yang disampaikan Dalang dalam pertunjukan wayang telah membangkitkan hati para penonton, sehingga fungsi pertunjukan wayang pada jaman itu tidak lagi pada upacara religius atau ritual, namun telah bergeser menjadi seni pertunjukan yang mengutamakan nilai estetis.
Mengenai asal kelahiran wayang kulit terungkap beberapa pendapat, apabila dikelompokkan sedikitnya terdapat tiga pendapat yang berbeda, yakni: (1) ada yang menyatakan bahwa wayang berasal dari India; (2) mengemukakan bahwa wayang berasal dari Cina; dan (3) mengemukakan bahwa wayang kulit merupakan kebudayaan dari Jawa.
1. Wayang berasal dari India dikemukakan oleh Krom, dengan alasan bahwa wayang kulit Jawa menggunakan bahan cerita dari India yaitu Mahabharata dan Ramayana. Di India juga mempunyai pertunjukan wayang dengan permainan bayangan yang disebut “Chayanataka”. Selanjutnya wayang kulit tumbuh berkembang hanya di Jawa dan Bali, hal ini dikarenakan kedua wilayah itu paling banyak menerima pengaruh dari kebudayaan Hindu.
2.  Wayang berasal dari Cina dikemukakan oleh Goslings, ia mengemukakan bahwa wayang kulit di Jawa itu Krama “wayang” itu berasal dari bahasa Cina dari kata Ying-hi. Kata Ying-hi adalah nama pertunjukan wayang dengan permainan bayangan di Cina, sehingga kata ringgit sama denga kata Ying-hi. Kata wayang itu berasal dari cina yaitu “Wayaah” bahasa hokiyah atau “woying” bahasa mandarin atau juga “Woyong” bahasa kanton.
3.  Wayang berasal dari Jawa dikemukakan oleh Hazeu, Rassers, dan Kruyt. Argumentasi Hazeu bahwa orang Jawa pada jaman dahulu mempunyai kepercayaan menyembah roh leluhur yang telah meninggal, sebab menurut kepercayaanya roh-roh dari nenek moyang itu dapat menampakan didunia sebagai bayangan. Maka orang Jawa untuk menghormati arwah nenek moyangnya dengan cara membuat lukisan yang menyerupai bayangan nenek moyang dan gambar-gambar itu di jatuhkan pada kelir atau tembok, sehingga menurut Hazeu wayang berasal dari upacara penyembahan roh nenek moyang. Sedangkan Dalang mestinya dilakukan oleh pendeta, sebab hanya pendeta yang dapat menghadirkan roh-roh leluhur. Adapun menurut, wayang kulit berasal dari totemisme yang ada di Jawa pada jaman dahulu. Totemisme merupakan kebudayaan pra sejarah, yaitu suatu kepercayaan segolongan manusia pada benda-benda keramat. Pada waktu menjalankan upacara totemisme wanita tidak boleh turut, orang wanita dan anak-anak berada di rumah belakang (ndalem), sedangkan kaum laki-laki yang menjalankan upacara berada di rumah depan, dari upacara totemisme itu maka lahir pertunjukan wayang. Sedangkan Kruyt berpendapat lain bahwa wayang itu berasal dari upacara shamanisme (dukunisme), dari hasil penelitianya di tanah Toraja kalau ada orang yang sakit tentu dimintakan pertolongan kepada dukun perempuan yang mempunyai kekuatan gaib, karena hal ini dipercaya dapat melepaskan badan rokhaniahnya (ngraga sukma). Untuk dapat masuk kedalam alam syaitan-iblis atau rojiman yang membuat sakit dilakukan sebuah upacara dengan cara sang dukun badannya diselimuti dengan karung goni, kemudian dukun itu membacakan doa-doa dan syair atau puisi-puisi keagamaan. Dari upacara ini maka lahirlah wayang, sedangkan cerita (pocapan), dan nyanyian dalang (sulukan) berasal dari syair dan doa-doa dukun.

Menurut buku-buku Jawa seperti Centhini dan sastramiruda, dijelaskan bahwa wayang purwa sudah ada sejak jaman Prabu Jayabaya di Mamenang (939M) yang digambar di atas daun rontal, pada zaman ini masih erat sekali kaitanya dengan fungsi religius yaitu untuk menyembah atau memperingati para leluhurnnya yang telah meninggal. Pada zaman Prabu Suryahamiluhur di Jenggala tahun 1166 saka (1244M), wayang purwa dibuat diatas kertas jawa dari Ponorogo dengan dijapit kayu di kanan-kirinya untuk menggulung. Perkembangan berikutnya pada zaman Raja Brawijaya I tahun 1301 saka (1379M) di Majapahit, wayang purwa dilukis lengkap dengan pakaian, rambut, dan bermacam-macam warna, dan wayang itu terkenal dengan nama wayang sunggingan. Pada zaman Raden Fatah di Demak tahun 1437 saka (1515 M), wayang dibuat dari kulit dan berwujud seperti boneka. Selanjutnya pada zaman Demak, pertunjukan wayang kulit disempurnakan agar tidak bertentangan dengan agama.
Lakon yang disajikan dalam pertunjukan wayang kulit purwa mengambil sumber dari epos Ramayana dan Mahabarata yang merupakan karya sastra dari India. Kedua epos tersebut diubah dari bahasa sansekerta ke bahasa Jawa Kuna pada abad X, kitab Ramayana digubah pada jaman raja Dyah Balitung pada tahun 820-832 saka atau 898-910 masehi, sedangkan kitab Mahabarata digubah pada jaman raja Dharmawangsa Teguh (991-1007M). Lakon yang disajikan dalam pertunjukan wayang purwa bersumber dalam bentuk yang berbeda-beda,  ada yang bersumber dari prosa (gancaran) atau syair dan ada yang bersumber dari lakon yang berbentuk pakem balungan lakon, ada pula yang bersumber dari naskah lakon (pakem). Lakon wayang yang bersumber dari cerita dalam syair misalnya; Serat Pustaka Raja karya R. Ng. Ranggawarsita pujangga keraton Surakarta (1802-1874), Lakon wayang yang bersumber dari pakem balungan lakon untuk daerah Surakarta bersumber dari Serat Pedalangan Ringgit Purwa karya K.G.P.A.A. mangkunegara VII (1916-1944), lakon wayang yang bersumber dari naskah lakon atau pakem lakon lengkap, contohnya: lakon palasara dalam Serat Sastramirudha, lakon Makutharama yang ditulis Siswaharsaya, lakon Irawan rabi oleh Nayawirangka, dan sebagainya.
Dalam perkembangan sekarang, dalang-dalang tenar maupun pemula jarang menggunakan lakon yang bersumber dari Serat Pedalangan Ringgit Purwa atau dari naskah lengkap, mereka cenderung menampilkan lakon carangan yang dibuat oleh seniman dalang atau oleh para pecinta. Dalam dunia pedalangan terdapat sebuah  istilah lakon baku, lakon carangan, lakon sempalan. pengklasifikasian semacam itu untuk keperluan pertunjukan wayang nampaknya sulit dipisahkan. Lakon baku adalah suatu lakon yang ceritanya langsung diambil dari Serat Pustaka Raja Purwa atau tradisi resmi, adapun lakon carangan adalah suatu lakon yang direkayasa atau yang disadur yang lepas dari cerita pokok. Pada akhir-akhir ini muncul jenis lakon baru seperti lakon  Banjaran, lakon berjenis banjaran tersebut diprakarsai oleh Ki Nartasabda pada tahun 1977, lakon banjaran adalah jenis lakon yang mengisahkan tokoh sejak kelahiranya sampai kematianya.

ungkapan masyarakat jawa dan pewayangan


         Ungkapan bahasa Jawa merupakan alat pengungkap pikiran atau perasaan masyarakat Jawa, ungkapan tradisional jawa yakni semacam paribasan, yang bagi masyarakat Jawa merupakan kebijaksanaan lokal suatu warisan yang dapat dipergunakan sebagai pathokan bagi tingkah laku sesorang.

A.  jenis-jenis ungkapan dalam masyarakat jawa.

1. Paribasan
Paribasan yaitu suatu bentuk peribahasa Jawa dengan kalimat yang selalu konsisten tanpa perumpamaan yang berbelit, kias yang digunakan tidak menunjukkan hal yang berbeda sifatnya.
Contoh sebuah paribasan.
·         Ana gula ana semut, artinya suatu tempat yang banyak menghasilkan rezeki pasti banyak orang yang datang ke tempat tersebut.
·         Arep jamure emoh watange, artinya seseorang yang mau enaknya tetapi tidak mau sengsaranya.
·         Mendhem jero mikul dhuwur, artinya Mendhem: memendam; jero: dalam; mikul: memikul; dhuwur: tinggi. “Memendam (yang) dalam, memikul (mengangkat yang) tinggi”. Melupakan atau menyimpan rahasia; kejelekan orang tua, keluarga, masyarakat; dan mengharumkan nama baik, jasa, orang tua, keluarga dan masyarakat.

2. Bebasan
Bebasan yaitu kata-kata yang tetap penggunaannya, mempunyai arti kiasan, mengandung pengertian persamaan. Adapaun hal yang dipersamakan adalah keadaan atau sifat dari orang (atau benda). Orang atau bendanya terbawa ke dalam persamaan tersebut, tetapi yang lebih diperhatikan adalah keadaannya.


Contoh sebuah bebasan:
·         Ngenteni kumambange watu sileming gabus, artinya menanti sesuatu yang tidak akan pernah tercapai atau penantian yang sia-sia 
·         Kencana katon wingka, artinya Kencana : emas; katon: tampak; wingka: pecahan genting (kreweng). “Emas tapi tampak seperti pecahan genting”. Orang yang mulia atau bermartabat tetapi tampak sederhana. Bisa juga menggambarkan orang yang dulu dicintai tetapi sekarang tidak lagi. 
·         Urip mung mampir ngombe, artinya Urip: hidup, kehidupan; mung: hanya; ngombe: minum. “Orang hidup, (sebenarnya hanya) singgah (untuk) minum”. Orang hidup di alam fana hanyalah sebentar, nantinya akan hidup di alam yang baka yang lama. 
3. Saloka
Saloka diartikan sebagai kata-kata yang tetap penggunaannya, mempunyai arti kiasan, mengandung pengertian persamaan. Yang dipersamakan adalah orangnya. Sudah tentu watak atau keadaannya juga terbawa, tetapi yang lebih diperhatikan adalah orangnya.
Contoh sebuah saloka:
·         Jangkrik nguntal sepur, artinya suatu keinginan yang tidak sesuai dengan kemampuanya
·         Gajah alingan teki, artinya orang besar bertumpu masalah kepada orang kecil.
·         Kebo nusu gudel, artinya Kebo : kerbau; nusu : menyusu;  gudel: anak kerbau. “Kerbau menyusu (pada) anaknya”. Menunjukkan, bahwa orang tua meminta (uang, harta, ilmu) pada anaknya, atau guru yang juga belajar dari (bekas) muridnya.


B. Ungkapan yang terdapat dalam sebuah pakeliran wayang purwa
Dalam pertunjukan wayang kulit purwa, penggolongan ungkapan di atas dapat dilihat  pada janturan, pocapan, ginem. Contoh dalam pertunjukan wayang kulit purwa diuraikan sebagai berikut.

a)                  Paribasan
§  Aswatama: wah toblas-toblas, hiyo kakang janaka tak trima dadaku kutah ludira, ning kowe aja girang-girang gumuyu. dandang tak unekake kuntul, kuntul muni dandang. (Purbo Asmoro dalam palguna-palgunadi kaset No 7) adalah mempunyai makna bahwa aswatama akan mengadu domba arjuna dengan palgunadi dengan cara hal yang sebenarnya akan dikatakan tidak sebenarnya dan hal yang bukan sebenarnya akan dikatakan itu yang sebenarnya.

b)                  Bebasan
§  Karna: Yayi, ciklu-ciklu jambul uwanen anggen kula puruhita ing ngarsa paduka prabu idheping tekad namung badhe nyengkuyung hadeke prabu duryudana anggenipun nyakrawati mbahudenda ndepani bumi ngastina namung nyatanipun dinten mangke nabok nyilih tangan gutuk lor kena kidul badhe nindakaken pepejah. (purbo asmoro dalam palguna-palgunadi kaset no 3) nabok nyilih tangan adalah bebasan yang artinya berbuat buruk dengan menyuruh orang lain yang melakukanya.

c)                  saloka
§  Burisrawa: anggonku kepingin sesandingan lawan mbok mbadra kaya cecak nggayuh lintang. (naskah pakeliran lakon parta krama) cecak nggayuh lintang adalah saloka yang mempunyai arti bahwa keinginanya tidak mungkin terkabul karena tidak seimbang dengan kemampuan yang dimilikinya.

Jumat, 19 September 2014

ASMARADANA (sandi asma)

GETun carub lan sungkawa
NUlad sangsaraning klawarga iki
Anggrantes rasaning kalbu
GUSti enggal tulunga
LEStari rahayu minangka dongaku
nganTiYO puputing yuswa
NOra kendat ingsun memuji

LELAMISAN

Pêtêngé ndhêdhét kêpati ndayani nyênyêté wêngi

Angin kang sumribit tumêmpuh sagunging uwit

Pasêksèn sambatku tumêkèng sundhul nglangit

Pagénéå hyang manon tan asung pitutur

Mring titah kang nuju kuwur

 

Karaméan kråså samun

Nadyan lair mèsêm guyu 

Yêktiné batin tansah muwun

 

Trêsnané jêbul amung nggégé mångså 

Kêbak sêtyå janji kang ora tumus têkaning ati

Kang nandur katrêsnan kêmul kadurakan

Ngibaraté banyu rêgêd biså njélmå minangkå manising madu

IMPEN SEJATI

Tidhêm prêmanêm tan ånå sabåwå swårå
Ngêlangut nyamut-nyamut mulat lêlakon kang sinanḍang
Tumungkul sakèhing ḍuhkitå lir sêkar anglayung
Sumarah ing karêp sumèlèh ing pamikir
Nyakêtaké ḍiri marang Hyang Widhi

Lumantar sumiliring angin wêngi
Sun ngrêroncé sêkabèhing impèn sêjati
Nggugah ati nyirnaké råså ḍuhkitå
Anuju papan kang dadya gêgadhangan
Mugå dèn énggal binukå korining kabagyan.