Wayang
kulit merupakan salah satu bentuk seni pertunjukan yang sangat popular dan di
senangi oleh berbagai lapisan masyarakat Jawa, khususnya wilayah Jawa Tengah
dan Jawa Timur. Menganai umur dan asal mula pertunjukan wayang kulit menurut
data sejarah telah ada sejak abad ke-11 pada zaman Airlangga, seperti tercantum
dalam Kakawin Arjuna Wiwaha, bait 59 sabagai berikut.
”Hanonton Ringgit
manangis asekel muda hidepan huwus wruh wruh towin jan walulang inukir molah
angucap hatur ning wang tresneng wisaya malaha tan wihikana Ri tatwan jan maya
sahan-haning bhawa siluman” (Ada orang melihat wayang menangis, kagum
serta sedih hatinya, walaupun sudah mengerti bahwa yang dilihat itu hanya kulit
dipahat berbentuk orang dapat bergerak dan berbicara, yang melihat wayang itu
umpamanya orang yang nafsu dalam keduniawian yang serba nikmat, mengakibatkan
kegelapan hati. Ia tidak mengerti bahwa semua itu hanyalah bayangan seperti
sulapan, sesungguhnya hanya semu saja).
Pertunjukan
wayang kulit sudah ada sejak zaman Airlangga (abad XI), dengan wujud bonekanya terbuat
dari kulit yang ditatah dan dimainkan dengan menggunakan layar (kelir). Pada pertengahan abad XII, pertunjukan
wayang telah diiringi dengan musik tudungan, saron, dan kemanak. Isi yang
disampaikan Dalang dalam pertunjukan wayang telah membangkitkan hati para
penonton, sehingga fungsi pertunjukan wayang pada jaman itu tidak lagi pada
upacara religius atau ritual, namun telah bergeser menjadi seni pertunjukan
yang mengutamakan nilai estetis.
Mengenai
asal kelahiran wayang kulit terungkap beberapa pendapat, apabila dikelompokkan sedikitnya
terdapat tiga pendapat yang berbeda, yakni: (1) ada yang menyatakan bahwa
wayang berasal dari India; (2) mengemukakan bahwa wayang berasal dari Cina; dan
(3) mengemukakan bahwa wayang kulit merupakan kebudayaan dari Jawa.
1. Wayang berasal
dari India dikemukakan oleh
Krom, dengan alasan bahwa wayang kulit Jawa menggunakan bahan cerita dari India yaitu Mahabharata
dan Ramayana. Di India juga mempunyai pertunjukan
wayang dengan permainan bayangan yang disebut “Chayanataka”. Selanjutnya wayang
kulit tumbuh berkembang hanya di Jawa dan Bali, hal ini dikarenakan kedua
wilayah itu paling banyak menerima pengaruh dari kebudayaan Hindu.
2. Wayang berasal dari Cina dikemukakan oleh
Goslings, ia mengemukakan bahwa wayang kulit di Jawa itu Krama “wayang” itu
berasal dari bahasa Cina dari kata Ying-hi. Kata Ying-hi adalah nama
pertunjukan wayang dengan permainan bayangan di Cina, sehingga kata ringgit sama denga kata Ying-hi. Kata
wayang itu berasal dari cina yaitu “Wayaah” bahasa hokiyah atau “woying” bahasa
mandarin atau juga “Woyong” bahasa kanton.
3. Wayang berasal dari Jawa dikemukakan oleh
Hazeu, Rassers, dan Kruyt. Argumentasi Hazeu bahwa orang Jawa pada jaman dahulu
mempunyai kepercayaan menyembah roh leluhur yang telah meninggal, sebab menurut
kepercayaanya roh-roh dari nenek moyang itu dapat menampakan didunia sebagai
bayangan. Maka orang Jawa untuk menghormati arwah nenek moyangnya dengan cara
membuat lukisan yang menyerupai bayangan nenek moyang dan gambar-gambar itu di
jatuhkan pada kelir atau tembok, sehingga
menurut Hazeu wayang berasal dari upacara penyembahan roh nenek moyang.
Sedangkan Dalang mestinya dilakukan oleh pendeta, sebab hanya pendeta yang
dapat menghadirkan roh-roh leluhur. Adapun menurut, wayang kulit berasal dari
totemisme yang ada di Jawa pada jaman dahulu. Totemisme merupakan kebudayaan
pra sejarah, yaitu suatu kepercayaan segolongan manusia pada benda-benda
keramat. Pada waktu menjalankan upacara totemisme wanita tidak boleh turut,
orang wanita dan anak-anak berada di rumah belakang (ndalem), sedangkan kaum
laki-laki yang menjalankan upacara berada di rumah depan, dari upacara
totemisme itu maka lahir pertunjukan wayang. Sedangkan Kruyt berpendapat lain
bahwa wayang itu berasal dari upacara shamanisme (dukunisme), dari hasil
penelitianya di tanah Toraja kalau ada orang yang sakit tentu dimintakan
pertolongan kepada dukun perempuan yang mempunyai kekuatan gaib, karena hal ini
dipercaya dapat melepaskan badan rokhaniahnya (ngraga sukma). Untuk dapat masuk kedalam alam syaitan-iblis atau
rojiman yang membuat sakit dilakukan sebuah upacara dengan cara sang dukun badannya
diselimuti dengan karung goni, kemudian dukun itu membacakan doa-doa dan syair
atau puisi-puisi keagamaan. Dari upacara ini maka lahirlah wayang, sedangkan
cerita (pocapan), dan nyanyian dalang
(sulukan) berasal dari syair dan
doa-doa dukun.
Menurut
buku-buku Jawa seperti Centhini dan sastramiruda, dijelaskan bahwa wayang purwa
sudah ada sejak jaman Prabu Jayabaya di Mamenang (939M) yang digambar di atas
daun rontal, pada zaman ini masih erat sekali kaitanya dengan fungsi religius
yaitu untuk menyembah atau memperingati para leluhurnnya yang telah meninggal.
Pada zaman Prabu Suryahamiluhur di Jenggala tahun 1166 saka (1244M), wayang
purwa dibuat diatas kertas jawa dari Ponorogo dengan dijapit kayu di
kanan-kirinya untuk menggulung. Perkembangan berikutnya pada zaman Raja Brawijaya
I tahun 1301 saka (1379M) di Majapahit, wayang purwa dilukis lengkap dengan
pakaian, rambut, dan bermacam-macam warna, dan wayang itu terkenal dengan nama
wayang sunggingan. Pada zaman Raden Fatah di Demak tahun 1437 saka (1515 M), wayang
dibuat dari kulit dan berwujud seperti boneka. Selanjutnya pada zaman Demak,
pertunjukan wayang kulit disempurnakan agar tidak bertentangan dengan agama.
Lakon
yang disajikan dalam pertunjukan wayang kulit purwa mengambil sumber dari epos Ramayana dan Mahabarata yang merupakan karya sastra dari India. Kedua epos
tersebut diubah dari bahasa sansekerta ke bahasa Jawa Kuna pada abad X, kitab Ramayana digubah pada jaman raja Dyah
Balitung pada tahun 820-832 saka atau 898-910 masehi, sedangkan kitab Mahabarata digubah pada jaman raja
Dharmawangsa Teguh (991-1007M). Lakon yang disajikan dalam pertunjukan wayang
purwa bersumber dalam bentuk yang berbeda-beda,
ada yang bersumber dari prosa (gancaran) atau syair dan ada yang
bersumber dari lakon yang berbentuk pakem balungan lakon, ada pula yang
bersumber dari naskah lakon (pakem). Lakon wayang yang bersumber dari cerita
dalam syair misalnya; Serat Pustaka Raja karya R. Ng. Ranggawarsita pujangga
keraton Surakarta (1802-1874), Lakon wayang yang bersumber dari pakem balungan
lakon untuk daerah Surakarta bersumber dari Serat Pedalangan Ringgit Purwa
karya K.G.P.A.A. mangkunegara VII (1916-1944), lakon wayang yang bersumber dari
naskah lakon atau pakem lakon lengkap, contohnya: lakon palasara dalam Serat
Sastramirudha, lakon Makutharama yang ditulis Siswaharsaya, lakon Irawan rabi
oleh Nayawirangka, dan sebagainya.
Dalam
perkembangan sekarang, dalang-dalang tenar maupun pemula jarang menggunakan
lakon yang bersumber dari Serat Pedalangan Ringgit Purwa atau dari naskah
lengkap, mereka cenderung menampilkan lakon carangan yang dibuat oleh seniman
dalang atau oleh para pecinta. Dalam dunia pedalangan terdapat sebuah istilah lakon baku, lakon carangan, lakon
sempalan. pengklasifikasian semacam itu untuk keperluan pertunjukan wayang
nampaknya sulit dipisahkan. Lakon baku adalah suatu lakon yang ceritanya langsung
diambil dari Serat Pustaka Raja Purwa atau tradisi resmi, adapun lakon carangan
adalah suatu lakon yang direkayasa atau yang disadur yang lepas dari cerita
pokok. Pada akhir-akhir ini muncul jenis lakon baru seperti lakon Banjaran, lakon berjenis banjaran tersebut
diprakarsai oleh Ki Nartasabda pada tahun 1977, lakon banjaran adalah jenis
lakon yang mengisahkan tokoh sejak kelahiranya sampai kematianya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar