Rabu, 08 Oktober 2014

Sejarah Wayang Purwa



Wayang kulit merupakan salah satu bentuk seni pertunjukan yang sangat popular dan di senangi oleh berbagai lapisan masyarakat Jawa, khususnya wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Menganai umur dan asal mula pertunjukan wayang kulit menurut data sejarah telah ada sejak abad ke-11 pada zaman Airlangga, seperti tercantum dalam Kakawin Arjuna Wiwaha, bait 59 sabagai berikut.
”Hanonton Ringgit manangis asekel muda hidepan huwus wruh wruh towin jan walulang inukir molah angucap hatur ning wang tresneng wisaya malaha tan wihikana Ri tatwan jan maya sahan-haning bhawa siluman” (Ada orang melihat wayang menangis, kagum serta sedih hatinya, walaupun sudah mengerti bahwa yang dilihat itu hanya kulit dipahat berbentuk orang dapat bergerak dan berbicara, yang melihat wayang itu umpamanya orang yang nafsu dalam keduniawian yang serba nikmat, mengakibatkan kegelapan hati. Ia tidak mengerti bahwa semua itu hanyalah bayangan seperti sulapan, sesungguhnya hanya semu saja).

Pertunjukan wayang kulit sudah ada sejak zaman Airlangga (abad XI), dengan wujud bonekanya terbuat dari kulit yang ditatah dan dimainkan dengan menggunakan layar (kelir). Pada pertengahan abad XII, pertunjukan wayang telah diiringi dengan musik tudungan, saron, dan kemanak. Isi yang disampaikan Dalang dalam pertunjukan wayang telah membangkitkan hati para penonton, sehingga fungsi pertunjukan wayang pada jaman itu tidak lagi pada upacara religius atau ritual, namun telah bergeser menjadi seni pertunjukan yang mengutamakan nilai estetis.
Mengenai asal kelahiran wayang kulit terungkap beberapa pendapat, apabila dikelompokkan sedikitnya terdapat tiga pendapat yang berbeda, yakni: (1) ada yang menyatakan bahwa wayang berasal dari India; (2) mengemukakan bahwa wayang berasal dari Cina; dan (3) mengemukakan bahwa wayang kulit merupakan kebudayaan dari Jawa.
1. Wayang berasal dari India dikemukakan oleh Krom, dengan alasan bahwa wayang kulit Jawa menggunakan bahan cerita dari India yaitu Mahabharata dan Ramayana. Di India juga mempunyai pertunjukan wayang dengan permainan bayangan yang disebut “Chayanataka”. Selanjutnya wayang kulit tumbuh berkembang hanya di Jawa dan Bali, hal ini dikarenakan kedua wilayah itu paling banyak menerima pengaruh dari kebudayaan Hindu.
2.  Wayang berasal dari Cina dikemukakan oleh Goslings, ia mengemukakan bahwa wayang kulit di Jawa itu Krama “wayang” itu berasal dari bahasa Cina dari kata Ying-hi. Kata Ying-hi adalah nama pertunjukan wayang dengan permainan bayangan di Cina, sehingga kata ringgit sama denga kata Ying-hi. Kata wayang itu berasal dari cina yaitu “Wayaah” bahasa hokiyah atau “woying” bahasa mandarin atau juga “Woyong” bahasa kanton.
3.  Wayang berasal dari Jawa dikemukakan oleh Hazeu, Rassers, dan Kruyt. Argumentasi Hazeu bahwa orang Jawa pada jaman dahulu mempunyai kepercayaan menyembah roh leluhur yang telah meninggal, sebab menurut kepercayaanya roh-roh dari nenek moyang itu dapat menampakan didunia sebagai bayangan. Maka orang Jawa untuk menghormati arwah nenek moyangnya dengan cara membuat lukisan yang menyerupai bayangan nenek moyang dan gambar-gambar itu di jatuhkan pada kelir atau tembok, sehingga menurut Hazeu wayang berasal dari upacara penyembahan roh nenek moyang. Sedangkan Dalang mestinya dilakukan oleh pendeta, sebab hanya pendeta yang dapat menghadirkan roh-roh leluhur. Adapun menurut, wayang kulit berasal dari totemisme yang ada di Jawa pada jaman dahulu. Totemisme merupakan kebudayaan pra sejarah, yaitu suatu kepercayaan segolongan manusia pada benda-benda keramat. Pada waktu menjalankan upacara totemisme wanita tidak boleh turut, orang wanita dan anak-anak berada di rumah belakang (ndalem), sedangkan kaum laki-laki yang menjalankan upacara berada di rumah depan, dari upacara totemisme itu maka lahir pertunjukan wayang. Sedangkan Kruyt berpendapat lain bahwa wayang itu berasal dari upacara shamanisme (dukunisme), dari hasil penelitianya di tanah Toraja kalau ada orang yang sakit tentu dimintakan pertolongan kepada dukun perempuan yang mempunyai kekuatan gaib, karena hal ini dipercaya dapat melepaskan badan rokhaniahnya (ngraga sukma). Untuk dapat masuk kedalam alam syaitan-iblis atau rojiman yang membuat sakit dilakukan sebuah upacara dengan cara sang dukun badannya diselimuti dengan karung goni, kemudian dukun itu membacakan doa-doa dan syair atau puisi-puisi keagamaan. Dari upacara ini maka lahirlah wayang, sedangkan cerita (pocapan), dan nyanyian dalang (sulukan) berasal dari syair dan doa-doa dukun.

Menurut buku-buku Jawa seperti Centhini dan sastramiruda, dijelaskan bahwa wayang purwa sudah ada sejak jaman Prabu Jayabaya di Mamenang (939M) yang digambar di atas daun rontal, pada zaman ini masih erat sekali kaitanya dengan fungsi religius yaitu untuk menyembah atau memperingati para leluhurnnya yang telah meninggal. Pada zaman Prabu Suryahamiluhur di Jenggala tahun 1166 saka (1244M), wayang purwa dibuat diatas kertas jawa dari Ponorogo dengan dijapit kayu di kanan-kirinya untuk menggulung. Perkembangan berikutnya pada zaman Raja Brawijaya I tahun 1301 saka (1379M) di Majapahit, wayang purwa dilukis lengkap dengan pakaian, rambut, dan bermacam-macam warna, dan wayang itu terkenal dengan nama wayang sunggingan. Pada zaman Raden Fatah di Demak tahun 1437 saka (1515 M), wayang dibuat dari kulit dan berwujud seperti boneka. Selanjutnya pada zaman Demak, pertunjukan wayang kulit disempurnakan agar tidak bertentangan dengan agama.
Lakon yang disajikan dalam pertunjukan wayang kulit purwa mengambil sumber dari epos Ramayana dan Mahabarata yang merupakan karya sastra dari India. Kedua epos tersebut diubah dari bahasa sansekerta ke bahasa Jawa Kuna pada abad X, kitab Ramayana digubah pada jaman raja Dyah Balitung pada tahun 820-832 saka atau 898-910 masehi, sedangkan kitab Mahabarata digubah pada jaman raja Dharmawangsa Teguh (991-1007M). Lakon yang disajikan dalam pertunjukan wayang purwa bersumber dalam bentuk yang berbeda-beda,  ada yang bersumber dari prosa (gancaran) atau syair dan ada yang bersumber dari lakon yang berbentuk pakem balungan lakon, ada pula yang bersumber dari naskah lakon (pakem). Lakon wayang yang bersumber dari cerita dalam syair misalnya; Serat Pustaka Raja karya R. Ng. Ranggawarsita pujangga keraton Surakarta (1802-1874), Lakon wayang yang bersumber dari pakem balungan lakon untuk daerah Surakarta bersumber dari Serat Pedalangan Ringgit Purwa karya K.G.P.A.A. mangkunegara VII (1916-1944), lakon wayang yang bersumber dari naskah lakon atau pakem lakon lengkap, contohnya: lakon palasara dalam Serat Sastramirudha, lakon Makutharama yang ditulis Siswaharsaya, lakon Irawan rabi oleh Nayawirangka, dan sebagainya.
Dalam perkembangan sekarang, dalang-dalang tenar maupun pemula jarang menggunakan lakon yang bersumber dari Serat Pedalangan Ringgit Purwa atau dari naskah lengkap, mereka cenderung menampilkan lakon carangan yang dibuat oleh seniman dalang atau oleh para pecinta. Dalam dunia pedalangan terdapat sebuah  istilah lakon baku, lakon carangan, lakon sempalan. pengklasifikasian semacam itu untuk keperluan pertunjukan wayang nampaknya sulit dipisahkan. Lakon baku adalah suatu lakon yang ceritanya langsung diambil dari Serat Pustaka Raja Purwa atau tradisi resmi, adapun lakon carangan adalah suatu lakon yang direkayasa atau yang disadur yang lepas dari cerita pokok. Pada akhir-akhir ini muncul jenis lakon baru seperti lakon  Banjaran, lakon berjenis banjaran tersebut diprakarsai oleh Ki Nartasabda pada tahun 1977, lakon banjaran adalah jenis lakon yang mengisahkan tokoh sejak kelahiranya sampai kematianya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar